Headlines News :
Home » , , » Di Legian Bali, Obrolan Selingkuhan pada Suatu Sore

Di Legian Bali, Obrolan Selingkuhan pada Suatu Sore

Sedikit mengerjapkan mata, dan voila … “seorang pria yang lain” itu, tanpa kita sadari seberapa cepatnya, seolah benar-benar sudah menjadi bagian dari hidup kita. Menelusup dalam BBM di tengah malam sekadar untuk mengucap good night. Hadir dalam SMS di siang hari sekedar untuk bertanya, ”sudah makan?”… Atau, menjadi sebuah panggilan telepon yang begitu kita rindukan pada sebuah sore di tengah akumulasi kesibukan hari kerja.Gbr Ist
Suatu sore, pada sebuah acara nongkrong bareng di sebuah kafe seputaran Legian, seorang teman mengemukakan alasannya kenapa dia berselingkuh. “Habis gimana, gw ga dapet itu dari suami gw?” katanya.

D**n, alasan ini sudah terlalu basi untuk sekali lagi saya dengar. Sorry, jeung, itu alasan yang terlalu klise. Apa gak ada alasan yang lebih elok ?

“Janganlah berharap, dan anda tak akan pernah kecewa,” lanjut dia.

Bah, ini lagi. Lengkap sudah obrolan 3 ibu-ibu tua paruh baya yang hampir selalu memiliki pandangan berbeda berkaitan dengan relationship dan perkawinan ini. Tentu tak ada yang benar secara absolut, karena memang tidak ada yang berhak untuk mengklaim kebenaran. Bagaimanapun, masing-masing dari kami bertiga adalah individu yang unik dan khas.

Cerita berlanjut dengan bagaimana teman tadi mengemukakan bahwa perkawinannya sama sekali tidak seperti yang dia harapkan. Melenceng jauh dari ekspektasinya sejak awal. Suaminya ternyata … … … [sensor]. Mertuanya juga ternyata … … … [sensor lagi]

Saya jadi bisa mengira-ngira akan kemana alur dari cerita ini. Saya seperti merasa mengalami dejavu mendengarnya. Seseorang di suatu tempat pernah mengeluhkan hal yang sama. Apa itu ? Ekspektasi, ya… ekspektasi

Setiap orang pasti punya ekspektasi tertentu terhadap hampir semua aspek di kehidupan ini, termasuk dalam perkawinan dan investasi. Keduanya kurang lebih sama dalam hal ekspektasi yang diidamkan, meski dengan parameter kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda bagi masing-masing pelakunya.

Dalam analogi investasi, kita cenderung akan memutuskan untuk menjalani suatu hubungan atau relationship di saat ekspektasi hasil (expected return) yang didapat lebih tinggi atau setidaknya sama dengan target hasil (target return) kita. Tak peduli ukuran pencapaian yang kita gunakan itu apakah cinta atau uang. Namun, sampai tingkat tertentu, bukan berarti ekspektasi sama sekali tak mengandung unsur untung-untungan.

Beruntung apabila relationship yang kita jalani ternyata sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi. Bagaimana jika tidak?

Ketika ekspektasi hasil tidak sesuai harapan, terus kira-kira apa yang dilakukan ? Well, tinggal pilih saja, ambil cara yang sulit atau mudah ? Mencari pelarian ataukah mulai belajar untuk mengelola ekspektasi (managing expectations)?

Saya paham, kadang pilihannya tidak hitam-putih. Lebih sering, pilihan-pilihan yang ada adalah variasi dari keduanya, di area abu-abu.

Sebagai perempuan, saya menyadari ada semacam ekspektasi universal dari seorang perempuan terhadap relationship atau perkawinan yang akan dan sedang dijalaninya, yaitu ekspektasi mengenai bagaimana relationship atau perkawinannya bakal berjalan nanti.

Lebih sering, bayangan perkawinan tidak selalu seindah yang diharapkan. Agak tragis memang ketika melihat pasangan-pasangan muda yang penuh dengan harapan setinggi langit akan kehidupan rumah tangga yang ideal, pada akhirnya harus menyerah di tengah jalan. Lebih tragis lagi, bila itu dialami oleh orang-orang di sekitar kita, yang sedikit banyak membuat kita khawatir: Jangan-jangan, kita sedang menunggu giliran …

Sebagian dari mereka pada akhirnya akan menyadari bahwa kehidupan memang tak selalu seperti jalan cerita film-film komedi romantis Hollywood yang diperankan oleh bintang-bintang gemerlap dan berakhir happy ending.

Lebih sering, alur cerita kehidupan seperti film-film independen idealis yang memenangkan penghargaan di festival film seperti Sundance. Penuh ironi, berakhir dengan tragis tapi sangat dekat dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari.

Kalau relationship atau perkawinan seolah sudah buntu, pilihan yang tergampang tentu menemukan pelarian (escape) yang paling instan. Sebab, pelarian itu bisa didapat kapan saja, dimana saja; di kantor atau lingkungan pergaulan. Dan dengan siapa saja: bisa jadi rekan sekantor, relasi, atau teman semasa kuliah.

Sedikit mengerjapkan mata, dan voila … “seorang pria yang lain” itu, tanpa kita sadari seberapa cepatnya, seolah benar-benar sudah menjadi bagian dari hidup kita. Menelusup dalam BBM di tengah malam sekadar untuk mengucap good night. Hadir dalam SMS di siang hari sekedar untuk bertanya, ”sudah makan?”… Atau, menjadi sebuah panggilan telepon yang begitu kita rindukan pada sebuah sore di tengah akumulasi kesibukan hari kerja.

Lalu perlahan tapi pasti, “pria lain” itu menggantikan sebuah sosok orang pertama yang seharusnya kita ingat ketika bangun pagi dan orang terakhir yang kita pikirkan sebelum tidur itu, yakni pasangan resmi atau suami kita.

Seperti sudah bisa ditebak, bertahan dalam sebuah relationship dan perkawinan jauh lebih sulit. Mengelola ekspektasi akan selalu menjadi pilihan yang lebih berat daripada mencari pelarian. Tetapi, itu pantas, it’s worth it. Cuman sebagian orang mungkin agak terlambat memahami seberapa pantasnya itu.

Adalah kekurangsabaran dalam menunggu terungkapnya blessing in disguise inilah yang seringkali menjadi godaan terbesarnya.

Hidup adalah kompromi. Sayangnya, kita baru akan benar-benar bisa memaknai dengan sepantasnya penggalan kalimat yang terkesan basi ini ketika suatu saat kita berada di sebuah persimpangan untuk memilih. Menyerah begitu saja dan cari pelarian, atau berjuang lebih keras dengan kemauan untuk terus belajar me-manage ekspektasi. Berkompromi ketika tidak sesuai dengan harapan semula, sembari pada saat yang bersamaan terus melanjutkan kehidupan sehari-hari dengan memberi arti pada setiap napas yang kita hirup. Life goes on, apapun dan bagaimanapun.

Selain pelarian dan mengelola ekspektasi, bersikap kekanak-kanakan adalah pilihan lainnya. Cuma, memangnya kita harus mendapatkan semua yang kita inginkan? Kita kan bukan anak kecil yang selalu bisa mendapatkan apapun yang kita inginkan.

Salah satu ritus menjadi dewasa adalah pembelajaran bahwa kita tidak akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Tidak semua barang di dunia ini bisa terbeli. Sesederhana itu.

Barangkali, karena itu pula dinamakan dewasa atau grown-ups, dari to grow, bertumbuh. Karena kita tumbuh dari ketidakmengertian menuju pemahaman; karena kita terus berkembang untuk menuju suatu level kebajikan (wisdom) tertentu.

Sebuah investasi di pasar saham seharga sebuah mobil bisa jadi melayang begitu saja dalam intraday trading, lebih karena kurangnya kedewasaan. Di satu sisi, ini terlihat seperti sebuah loss (kerugian) yang tidak perlu terjadi, tapi sesungguhnya di sisi lain kita bisa memaknainya juga sebagai fase yang harus kita lewati untuk berada pada posisi kita sekarang.

Tidak semua keinginan bisa tercapai. Tidak semua ekspektasi harus terwujud. So, what ?!

Hal yang kita semua perlu lakukan hanyalah terus belajar untuk mengelola ekspektasi. Berdamailah dengan itu…




*) penulis adalah CEO Toya Group, Bali
Share this article :

Pengunjung Blog Ini:


Recent Post

Popular Posts

Top News

Wanita Ini Kritis setelah Lawan Penjambret di Seminyak

Korban pejambretan dirawat intensif di IGD RSUP Sanglah, Sabtu (24/12/2016). DENPASAR - Tangis Eris dan keluarganya tak mampu lagi ter...

The Others News

 
Support : Dre@ming Post | Dre@aming Group | I Wayan Arjawa, ST
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Kuta Selatan - All Rights Reserved
Template Design by Dre@ming Post Published by Hot News Seventeen