Selasa, 12 Juli 2011, 08:49
DENPASAR - Komisi I dan III DPRD Bali akhirnya turun melakukan inspeksi lapangan ke  lahan yang akan  menjadi lokasi pembangunan Bali International Park  (BIP) di Jimbaran. Mereka terlibat dialog dengan sejumlah komponen soal  status lahan yang selama masih ini menjadi persoalan. Sementara PT  Jimbaran Hijau diminta memperhatikan nasib petani di Jimbaran, terutama  yang belum mendapatkan ganti rugi.
menjadi lokasi pembangunan Bali International Park  (BIP) di Jimbaran. Mereka terlibat dialog dengan sejumlah komponen soal  status lahan yang selama masih ini menjadi persoalan. Sementara PT  Jimbaran Hijau diminta memperhatikan nasib petani di Jimbaran, terutama  yang belum mendapatkan ganti rugi. 
 menjadi lokasi pembangunan Bali International Park  (BIP) di Jimbaran. Mereka terlibat dialog dengan sejumlah komponen soal  status lahan yang selama masih ini menjadi persoalan. Sementara PT  Jimbaran Hijau diminta memperhatikan nasib petani di Jimbaran, terutama  yang belum mendapatkan ganti rugi.
menjadi lokasi pembangunan Bali International Park  (BIP) di Jimbaran. Mereka terlibat dialog dengan sejumlah komponen soal  status lahan yang selama masih ini menjadi persoalan. Sementara PT  Jimbaran Hijau diminta memperhatikan nasib petani di Jimbaran, terutama  yang belum mendapatkan ganti rugi. Sidak kemarin dipimpin Ketua Komisi I Made Arjaya dan Ketua Komisi III  Putu Agus Suradnyana dan jajaran komisinya, serta dihadiri Wakil Ketua  DPRD Bali, Ida Bagus Putu Sukarta. 
Rombongan diterima langsung Dirut PT Jimbaran Hijau, Putu Agung Prianta.
Rombongan diterima langsung Dirut PT Jimbaran Hijau, Putu Agung Prianta.
Ketika rombongan dewan tengah mendengar keterangan dari PT Jimbaran  Hijau soal lahan yang akan dijadikan lokasi pembangunan venue sebagai   fasilitas kegiatan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2013  ini, tiba-tiba rombongan yang dipimpin Nengah Netra datang sembari  menyodorkan data. 
Mereka yang mengaku mewakili petani di Jimbaran menyodorkan data bahwa  lahan untuk BIP itu masih berstatus lahan telantar.  Netra mengatakan  lahan yang akan dibangun BIP telantar. Sebab, menurut PP no 11 tahun  2010, lahan yang telantar selama tiga tahun harus ditetapkan sebagai  tanah telantar yang pengelolaannya diambil alih oleh negara. 
Namun, Netra juga menegaskan dirinya tidak menghambat pembangunan BIP,  tetapi nasib para petani di lahan tersebut harus diperhatikan. Karena  kata Netra masih ada beberapa petani yang belum mendapatkan hak ganti  rugi. “Kami bukan menghambat pembangunan BIP,  tetapi perhatikan nasib  petani,” ujar Netra. 
Sementara pihak DPRD Bali dengan berdasarkan keterangan Badan Pertanahan  Nasional (BPN), menyebutkan sebaliknya. Berdasarkan hearing yang  dilakukan di kantor DPRD Bali pada Senin (27/6) lalu, dari pihak BPN  Bali menyampaikan bahwa tanah yang selama ini diindikasi telantar itu  tidak ada. 
Selain itu Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT Citra Tama Selaras  (CTS) maupun PT Jimbaran Hijau baru keluar pada 2010 lalu, sehingga   bilapun  mengacu pada PP 11/2010 itu, tidak bisa disebut telantar karena  baru setahun sejak PP itu dikeluarkan atau berlaku. 
Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya usai sidak kemarin menegaskan akan  mempertemukan pihak petani dan pihak BPN. Kata Arjaya telantar dengan  terindikasi telantar berbeda. “Kalau sekarang mau dibangun, ya bukan  telantar,” ujar Arjaya. Sementara Sekretaris Komisi III I Gusti Ngurah Suryanta Putra alias Seno  secara terpisah mengatakan dalam pertemuan dengan DPRD Bali, BPN  menyatakan lahan yang akan dibangun BIP bukan lahan telantar.“Kami sudah  minta penegasan apakah itu lahan terlantar saat pertemuan di dewan,  tetapi BPN menyatakan bukan telantar seperti yang disampaikan perwakilan  petani Pak Nengah Netra,” ujar Seno. 
Arjaya juga menambahkan  agar pihak petani dan BPN koordinasi dengan PT  Jimbaran Hijau. Ia juga meminta agar Netra menyerahkan data-data yang  belum mendapatkan ganti rugi tanah mereka. “Kita berharap selesainya  baik- baik. Ganti rugi kalau belum selesai kita harap diselesaikan,”  tegas Arjaya. 
Namun, informasi lain yang dihimpun Senin kemarin justru  menyebut,sejatinya proses ganti rugi untuk petani itu sudah selesai  sejak 1992 silam. Salah satu sumber di kalangan petani itu  sendiri menyebutkan, ganti rugi sudah lengkap diterima, bahkan dengan  kuitansi. Sumber itu bahkan menunjukkan foto-foto dokumen saat para  petani itu sudah menerima ganti rugi. 
Sementara,dalam rilisnya yang diterima, sejumlah aktivis  menyayangkan sidak dari DPRD Bali yang terkesan kilat ini. Waktu  peninjauan lokasi pun cukup singkat hanya sekitar setengah jam dan hanya  pada satu titik dari 280 hektare lahan.  Komang Sastrawan, Deputi Eksternal Walhi Bali menyatakan bahwa DPRD Bali  tidak berpihak kepada petani. “Rombongan DPRD Bali tak berpihak kepada  petani,” ujar Sastrawan.  “Bagaimana mungkin proyek yang luasnya ratusan  hektare hanya ditinjau pada satu titik dalam waktu yang amat singkat.  Hal ini sangatlah tidak objektif,  ”tambah Haris, Sekjen Frontier-Bali. 
sumber : NusaBali 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
