“Income petani di Bali yang mengelola lahan seluas 1 hektar itu sama dengan pendapatan pengemis jalanan yang mencapai Rp 3 juta perbulan,” jelas Windia dengan nada menyindir. Gbr Ist |
DENPASAR - Membicarakan nasib petani di Bali, tidak akan jauh-jauh dari persoalan kemiskinan dan ketidakpastian masa depan.
Kegelisahan tersebut, begitu keras disuarakan oleh Prof Wayan Windia sebagai dosen pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, saat mendiskusikan Peran Strategis Pertanian Di Bali yang dilangsungkan di gedung UPT Koperasi dan UMKM di Jalan Tukad Yeh Penet, Senin (9/3/2015).
“Income petani di Bali yang mengelola lahan seluas 1 hektar itu sama dengan pendapatan pengemis jalanan yang mencapai Rp 3 juta perbulan,” jelas Windia dengan nada menyindir.
Windia mengatakan, pertahunnya alih fungsi lahan pertanian di Bali mencapai 750 hektar. Hal ini berdampak juga pada sistem irigasi yang dimanfaatkan untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), hotel dan rafting.
“Petani Bali sudah jelek, sakit, miskin dan petani terancam bangkrut,” ujarnya.
Lebih lanjut ia sampaikan, selain terjadinya alih fungsi lahan tanda-tanda kebangkrutan petani sudah mulai tampak dalam sumbangan sektor primer yang terus menurun mencapai 19 persen.
Bahkan nilai tambah dari sektor pertanian hanya Rp 2,5 juta perbulan.
“Itu baru pendapatan petani perbulan, belum lagi beban pajak, harga jual gabah yang tak menentu. Dan enggannya anak-anak muda untuk menjadi petani,” terangnya.
propinsibali.com_____
sumber : tribun